Monday, April 30, 2007

PEDOMAN WAKTU SHALAT Mei 2007

PEDOMAN WAKTU SHALAT

Bulan : Mei 2007 (Rabiul Akhir-Jumadil Awal 1428)

Wilayah Jakarta dan Sekitarnya

Tgl

Hari

Shubuh

Syuriq

Zhuhur

‘Ashar

Maghrib

‘Isya

M

1

Selasa

04.36

05.50

11.53

15.14

17.50

19.00

2

Rabu

04.36

05.50

11.53

15.14

17.50

19.00

3

Kamis

04.36

05.50

11.53

15.14

17.50

19.00

4

Jum’at

04.36

05.50

11.52

15.14

17.49

19.00

5

Sabtu

04.36

05.50

11.52

15.14

17.49

19.00

6

Ahad

04.36

05.50

11.52

15.14

17.49

19.00

7

Senin

04.35

05.51

11.52

15.14

17.48

19.00

8

Selasa

04.35

05.51

11.52

15.14

17.48

19.00

9

Rabu

04.35

05.51

11.52

15.14

17.48

19.00

10

Kamis

04.35

05.51

11.51

15.14

17.48

18.59

11

Jum’at

04.35

05.51

11.51

15.14

17.48

18.59

12

Sabtu

04.35

05.51

11.51

15.14

17.48

18.59

13

Ahad

04.35

05.51

11.51

15.14

17.48

18.59

14

Senin

04.35

05.51

11.51

15.14

17.48

18.59

15

Selasa

04.35

05.51

11.51

15.14

17.48

18.59

16

Rabu

04.35

05.51

11.51

15.14

17.47

18.59

17

Kamis

04.35

05.51

11.51

15.14

17.47

18.59

18

Jum’at

04.35

05.51

11.51

15.14

17.47

18.59

19

Sabtu

04.35

05.52

11.52

15.14

17.47

18.59

20

Ahad

04.35

05.52

11.52

15.14

17.47

18.59

21

Senin

04.35

05.52

11.52

15.14

17.47

18.59

22

Selasa

04.35

05.52

11.52

15.14

17.47

18.59

23

Rabu

04.35

05.52

11.52

15.14

17.47

18.59

24

Kamis

04.35

05.52

11.52

15.14

17.47

18.59

25

Jum’at

04.35

05.52

11.52

15.14

17.47

18.59

26

Sabtu

04.35

05.52

11.52

15.14

17.47

19.00

27

Ahad

04.35

05.52

11.52

15.14

17.47

19.00

28

Senin

04.35

05.52

11.52

15.14

17.47

19.00

29

Selasa

04.35

05.52

11.52

15.14

17.47

19.00

30

Rabu

04.35

05.52

11.52

15.14

17.47

19.00

31

Kamis

04.36

05.53

11.53

15.14

17.47

19.00

Friday, April 27, 2007

KEPEMIMPINAN

KEPEMIMPINAN

09 Rab. Tsani 1428 H

27 April 2007 M

Prof. Dr. M. Quraish Shihab, M.A

24. Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar[1195]. dan adalah mereka meyakini ayat-ayat kami.

[1195] Yang dimaksud dengan sabar ialah sabar dalam menegakkan kebenaran.

Kepemimpinan bukan keistimewaan, tetapi tanggung-jawab. Ia bukan fasilitas, tetapi pengorbanan. Ia juga bukan leha-leha, tetapi kerja keras. Ia juga bukan kesewenang-wenangan bertindak, tetapi kewenangan melayani. Selanjutnya, kepemimpinan adalah keteladanan berbuat dan kepeloporan bertindak.

Imam dan khalifah adalah dua istilah yang digunakan Al-Qur’an untuk menunjuk ”kepemimpinan”. Kata imam terambil dari kata amma-ya’ummu, yang berarti menuju, menumpu dan meneladani.

Kata khalifah berasal dari kata khalafa yang pada mulanya berarti ”di belakang”. Dari sini kata khalifah seringkali diartikan dengan ”pengganti”, karena yang menggantikan selalu berada di belakang atau datang sesudah, yang digantikan.

Kita dapat berkata, bahwa al-Qur’an menggunakan kedua istilah ini, untuk menggambarkan ciri seorang pemimpin. Sekali di depan menjadi panutan. Kali yang lain di belakang untuk mendorong, sekaligus mengikuti kehendak dan arah yang dituju oleh yang dipimpinnya atau tutwuri handayani.

Para pakar, setelah menelusuri Qur’an-Hadits, menetapkan empat sifat yang harus dipenuhi oleh para Nabi, yang pada hakekatnya adalah pemimpin ummatnya, yaitu:

1. Shidiq, yaitu kebenaran dan kesungguhan dalam bersikap, berucap serta berjuang melaksanakan tugasnya.

2. Amanah atau kepercayaan, yang menjadikan ia memelihara sebaik-baiknya apa yang diserahkan kepadanya, baik dari Tuhan maupun dari orang-orang yang dipimpinnya, sehingga tercipta rasa aman bagi semua pihak.

3. Fathanah, yaitu kecerdasan yang melahirkan kemampuan menghadapi dan menanggulangi persoalan yang muncul seketika sekalipun.

4. Tabligh, yaitu penyampaian yang jujur dan bertanggungjawab, atau dapat diistilahkan dengan keterbukaan.

Dalam al-Baqarah: 124, diuraikan tentang pengangkatan Nabi Ibrahim sebagai pemimpin, ”Aku akan mengangkatmu sebagai imam/pemimpin.” Mendengar hal ini, Nabi Ibrahim bermohon agar kehormatan ini diperoleh pula oleh anak cucunya. Akan tetapi, Allah menggariskan suatu syarat, yaitu : ”Perjanjian-Ku ini tidak diperoleh orang-orang yang berlaku aniaya.” Ini mengisyaratkan, kalaupun anak cucu dapat dibenarkan mewarisi kekuasaan orang tuanya, pembenaran itu harus berdasar sifat-sifat terpuji yang intinya adalah keadilan.

Lima Sifat Pemimpin

Ada dua hal yang wajar digarisbawahi menyangkut ayat di atas.

  1. Kepemimpinan dalam pandangan al-Qur’an bukan sekedar kontrak sosial antara sang pemimpin terpilih dengan masyarakat pemilihnya, tetapi juga merupakan ikatan perjanjian antara dia dengan Allah s.w.t itulah yang kita sebut dengan amanah. Karena itu ketika sahabat Nabi, Abu Dzar, meminta suatu jabatan, Nabi s.a.w bersabda: ”Kamu lemah, dan ini adalah amanah sekaligus dapat menjadi sebab kenistaan dan penyesalan di hari kemudian.”
  2. Kepemimpinan menurut keadilan, karena keadilan adalah lawan dari penganiyayaan yang dijadikan syarat oleh ayat di atas. Keadilan tersebut dirasakan oleh semua pihak, baik kawan maupun lawan (2:126)

Dalam ayat lain yang berbicara tentang kepemimpinan yang baik, ditemukan lima sifat pokok yang hendaknya dimiliki oleh sang calon pemimpin. Kelima sifat itu terungkap dalam dua ayat, Qs. 32:34 dan 21:73, yaitu:

  1. Kesabaran dan ketabahan, ”Kami jadikan mereka pemimpin ketika mereka tabah/sabar”.
  2. Yahduwna bi amrina, mengantar (masyarakatnya) ke tujuan yang sesuai dengan petunjuk Kami (Allah & Rasul-Nya).
  3. Wa awhaina ilayhim fi’la’lkhairat, telah membudaya pada diri (sang calon) suatu kebajikan.
  4. ’Abidin, (senantiasa beribadah, termasuk sholat dan zakat).
  5. Yuwqinun, penuh keyakinan karena memiliki misi dan visi yang jelas.

Dari 5-sifat tersebut, as-shabr (ketekunan & ketabahan) dijadikan Allah sebagi konsideran pengangkatan mendahului sifat-sifat lain. Kesabaran adalah sifat dasar yang melekat, sedang yang lain adalah yang mereka peragakan dalam kenyataan.

Sifat ke-2 mengandung arti bahwa, seorang pemimpin minimal harus mampu menunjukkan jalan kebahagiaan dan pencerahan suasana terhadap ummat yang dipimpinnya melalui paket perubahan. Tidak sekedar menunjukkan atau melempar konsep, melainkan juga mesti memberi contoh sosialisasinya. Kepemimpinan sholat berjama’ah bisa dijadikan contoh nyata yang paling sederhana dan mudah dipahami bagi masalah ini.

Panduan Pemilihan

Dari sekian banyak ayat dan hadits, ditemukan teks yang mengandung panduan pemilihan dan pengangkatan pemimpin, sehingga antara pemimpin terpilih dan ummat pemilihnya, terikat kontrak sosial (sumpah jabatan). Menarik untuk diperbandingkan antara pengangkatan Nabi Adam diangkat dengan ungkapan lafadz tungal, Inniy jailun Fi’l-ardhi khalifah. (2:30). Sedang Nabi Dawud dalam bentuk jama’, Inna ja’alnaka khalifan fil-ardh.(38:26).

Ini menunjukkan bahwa pengangkatan Dawud ’Alayhissalam melibatkan dukungan pihak lain, selain tentunya dukungan Allah s.w.t. Berbeda dengan kasus Adam ’Alayhissalam, karena di zamannya belum ada komunitas masyarakat, sehingga pemilihan menjadi hak penuh Allah s.w.t. meskipun sebenarnya juga melalui sistem musyawarah langitan bersama yang mengikutsertakan para malaikat, termasuk jin dan iblis.

Ibnu ’Athiyah (1088-1148 M) mengatakan, syura termasuk prinsip syari’ah dan pilar hukum. Maka itu, pemimpin yang tidak mau melakukan syura, sah untuk dilengserkan. Karena ia diangkat berdasarkan syura, maka pelengserannya pun berada di tangan syura. Umar bin Khattab mengatakan: ”Siapa yang membai’at (mengangkat dan menyumpah) seorang pemimpin, tanpa didahului syura, maka tidak wajib bersumpah setia atasnya karena pengangkatannya tidak sah. Sebab khalifah adalah syura.”

Dari sini dapat dipahami sabda Nabi Muhammad s.a.w, ”sebagaimana keadaan kalian, demikian pula terangkat pimpinan kalian.” Karena pemimpin adalah cerminan masyarakatnya. Dan masyarakat yang baik, jelas akan memilih pemimpin yang baik. Sebagaimana makmum yang baik, akan memilih imam sholat yang terbaik, supaya menghasilkan makmum yang baik pula. Karena imam, sebenarnya adalah hasil kehendak orang banyak (makmum), bukan kehendak sekelompok makmum, apalagi tukang adzan atau pengurus masjid semata.