Friday, April 27, 2007

IBU KARTINI

IBU KARTINI

09 Rabi’uts Tsani 1428H

27 April 2007

M. Hidayatullah, SH.

Tanggal 21 April, sudah satu seperempat abad lebih atau tepatnya 128 tahun kita mengenang hari kelahiran tokoh besar perempuan Indonesia, yaitu Raden Adjeng Kartini. Tepatnya, 21 April 1879 di Jepara, Jawa Tengah, keturunan bangsawan (priyayi) yang dikenal Raden Ayu Kartini.

Tinta sejarah belum lagi kering menulis namanya, namun wanita-wanita negeri ini sudah terbata-bata membaca cita-citanya. Hari Kartini kini kalah populer dengan hari Valentine, padahal Valentine adalah produk yang diadopsi dari luar. Apakah para wanita negeri ini sudah mulai melupakan sosok yang telah memperjuangkan martabat mereka? Tak ayal, kekerdilan dan kepicikan wanita negeri ini kini, kiranya bias dari sikap melupakan jasa para pahlawan. Pepatah mengatakan ”Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai perjuangan para pahlawannya”.

Ibu Kartini adalah sosok pejuang wanita sejati bersahaja. Paradigma perjuangan yang dibangunnya pun sangat sederhana, tidak terlalu teoritis dan ’wah’. Dia pun tidak pernah memperkenalkan istilah-istilah seperti emansipasi wanita, kesetaraan gender, dan bahkan mungkin ibu Kartini tidak mengenal istilah itu. Namun, kini cita-cita dan perjuangan ibu Kartini acap kali dijadikan kendaraan dengan istilah-istilah seperti emansipasi wanita, kesetaraan gender yang didefinisikan bahwa wanita harus keluar rumah berkarir menjadi pesaing para pria di berbagai lapangan kehidupan, untuk kemudian membiarkan anak-anak dan rumah tangganya terbengkalai. Gerakan liberalisme, pluralisme yang sangat erat dengan muatan-muatan kepentingan sepihak, kemudian dengan seenaknya mereka nisbatkan kepada ibu Kartini.

Melihat kepada prestasinya mendirikan sekolah untuk wanita di Jepara, mendirikan sekolah untuk wanita di Rembang. Kumpulan surat-surat: Door Duisternis tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang). Sangat jelas, perjuangan yang diusungnya adalah meninggalkan martabat dan memajukan wanita bangsanya, dan itu tidak akan dapat dicapai melainkan lewat pendidikan yang layak. Untuk merealisasikan cita-citanya itu, dia mengawalinya dengan mendirikan sekolah untuk anak gadis di daerah kelahirannya, Jepara. Di sekolah tersebut diajarkan pelajaran menjahit, menyulam, memasak, dan sebagainya. Semuanya itu diberikannya tanpa memungut bayaran alias cuma-Cuma.

Bila melihat kiprah mayoritas wanita Indonesia kini, maka akan sangat jauh melenceng dari nilai-nilai yang diperjuangkan oleh ibu Kartini. Wanita Indonesia kini cenderung menjadikan dirinya sebagai aksesoris pria dan ’wanita penghibur’ karena alasan tuntutan kehidupan dan ekonomi.

Hanya saja formatnya dikemas sedemikian rupa, maka aktifitas ’menghibur’ itu dianggap wajar oleh masyarakat dan jika ada yang memprotesnya akan dihukumi sebagai orang yang telah menghambat demokrasi serta memasung kebebasan dan harus ditentang. Padahal aktifitas itu adalah bentuk dari eksploitasi dan merupakan media pembodohan wanita. Bisa jadi ibu Kartini akan menangis bila perjuangan yang diusungnya dulu menjelma menjadi seperti saat ini.

Semangat perjuangan ibu Kartini yang ingin memajukan kaumnya, mengingatkan kita dengan kehidupan jahiliyah orang-orang Quraisy Mekkah sebelum datangnya Islam.

Perempuan bukan hanya tidak mendapatkan pendidikan yang layak, lebih dari itu, memiliki anak perempuan adalah merupakan bencana dan aib bagi mereka. Sehingga seorang suami, jika mendapati istrinya melahirkan anak perempuan maka memerahlah wajah mereka, dan merekapun akan membunuh anak perempuan itu dengan menanamnya hidup-hidup. Firman Allah SWT,

58. Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan Dia sangat marah.

59. Ia Menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah Dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup) ?. ketahuilah, Alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu. (QS. An-Nahl [16] : 58-59)

Sehingga Islam datang, kebiasaan dan keyakinan itu dhapus. Islam mengangkat derajat perempuan dan memberikan haknya sebagaimana mestinya sebagai makhluk Allah.

Realistis dan sesuai dengan fitrah manusia, ituah ungkapan yang tepat, bahwa jalan yang ditempuh oleh ibu Kartini untuk memajukan kaumnya adalah dengan memberikan pendidikan yang layak. Cukup dengan pendidikan, tanpa harus membentuk organisasi-organisasi perempuan, membuat perlombaan Putri Indonesia tapi namanya harum dan dinobatkan sebagai pejuang dan pahlawan nasional.

Hari jadi Kartini, harus dijadikan moment reaktualisasi semangat ibu Kartini dalam meningkatkan pendidikan wanita, bukan sekedar menyemarakkan jargon-jargon seperti emansipasi wanita atau kesetaraan gender, yang justru mengaburkan nilai perjuangan ibu Kartini.

Walladzikrullahi akbar

No comments: